Senin, 13 Januari 2020

Marsigit2019-Dea Armelia (Makalah Filsafat Pend.Matematika)


FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

“Tinjauan Filsafat dalam Memahami Kesulitan
Siswa Belajar Matematika”


Diajukan kepada Prof. Dr. Marsigit, M. A.
untuk Memenuhi Tugas Akhir Filsafat Ilmu













Oleh
Dea Armelia (19709251072)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2020




DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 2
A.      Latar Belakang ............................................................................................................ 2
B.       Rumusan Masalah ........................................................................................................ 3
C.       Tujuan Penulisan Makalah ........................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 4
A.      Filsafat Pendidikan Matematika .................................................................................. 4
1.        Ontologis Filsafat Pendidikan Matematika .......................................................... 4
a.       Hakikat Siswa dalam Pendidikan Matematika ............................................. 5
b.      Hakikat Guru dalam Pendidikan Matematika ............................................... 5
c.       Hakikat Pembelajaran Matematika ................................................................ 6
d.      Hakikat Penilaian .......................................................................................... 6
e.       Hakikat Matematika Sekolah ........................................................................ 6
2.        Epistemologis Filsafat Pendidikan Matematika ................................................... 7
a.       Tinjauan Epistemologis tentang Siswa dalam Pendidikan Matematika ........ 8
b.      Tinjauan Epistemologis tentang Guru dalam Pendidikan Matematika ......... 8
c.       Tinjauan Epistemologis tentang Pembelajaran Matematika .......................... 9
d.      Tinjauan Epistemologis tentang Penilaian dalam Pendidikan Matematika ... 10
e.       Tinjauan Epistemologis tentang Matematika Sekolah ................................... 10
f.       Tinjauan Epistemologis tentang Kurikulum Pendidikan Matematika ........... 12
3.      Tinjauan Aksiologi Filsafat Pendidikan Matematika ........................................... 13
B.       Aliran Filsafat Memandang Matematika ..................................................................... 13
C.       Filsafat Kesulitan Belajar Matematika ........................................................................ 15
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 19






BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Permasalahan filsafat pendidikan seringkali diabaikan dalam praksis pendidikan kita. Banyak guru dan birokrat pendidikan bahkan tidak mengenal filsafat. Tidak mengherankan jika gerak pendidikan yang dikendalikan tidak berakar pada hakikat filosofis pendidikan itu sendiri. Berkaitan dengan ilmu pengetahuan (pendidikan misalnya) maka filsafat berbicara akan berbicara tentang masalah apa, bagaimana cara, dan untuk apa pengetahuan diperoleh. Jujun S. Suriasumantri (dalam Susanto, 2013: 131) mengungkapkan bahwa untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dengan pengetahuan lainnya maka perntanyaan yang dapat diajukan adalah: Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontology)? Bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemology)? Serta untuk apa pengetahuan termasuk dipergunakan (axiologic)? Dengan demikian, berbicara masalah pendidikan maka akan muncul tiga pertanyaan kunci (i) apa dan bagaimana realita pendidikan kita selama ini (ontologis), (ii) bagaimana sebaiknya pendidikan kita dilaksanakan (epistemologis), dan (iii) apakah manfaat pendidikan digunakan dibangun dan dikembangkan (aksiologis).
Berbicara tentang filsafat pendidikan matematika berarti berbicara tentang unsur yang ada pendidikan. Salah satu unsur yang penting dalam pendidikan adalah guru. Namun pertanyaan yang muncul adalah apakah para guru matematika menyadari bahwa salah satu hal penting yang harus ia pelajari adalah filsafat pendidikan matematika? Maka jawaban yang diberikan oleh guru adalah sebuah pertanyaan balikan yaitu apa penting filsafat pendidikan matematika itu untuk kami para guru. Jawaban ini menunjukkan bahwa para guru matematika merasa yang paling penting baginya adalah menguasai semua konsep matematika dan mengajarkan matematika pada siswa. Fakta menunjukkan bahwa para guru matematika mengajar matematika sebagai ilmu yang abstrak padahal dalam kehidupan, kita akan selalu berjumpa dengan matematika yaitu masalah-masalahnya, karena itu pendidikan matematika adalah sebuah kegiatan pemecahan masalah. Pemikiran para guru di atas, tercermin dalam bagaimana ia melakukan kegiatan pendidikan tersebut. Pendidikan matematika merupakan proses penyampaian konsep-konsep matematika yang dikuasainya dan peran siswa dalam kegiatan tersebut adalah sebagai pendengar yang manis yang tidak mampu berpikir dan diharapkan mampu menghafal. Siswa adalah kertas kosong yang harus ditulis sebanyak-banyaknya dan jika ditanya apakah nilai atau manfaat yang diperoleh siswa, maka jawabannya adalah penguasaan sejumlah konsep-konsep matematika. Inilah paradigma pendidikan lama yang sampai saat ini belum bisa terganti.
Paradigma pendidikan matematika tersebut yang harus kita ubah. Pertanyaan siapa yang harus berubah dan kapan perubahan itu dimulai? Jawabannya adalah kita dan sekarang. Kita sebagai para guru matematika yang sudah mempelajari tentang filsafat pendidikan matematika harus memandang pendidikan matematika sebagai sesuatu yang lebih kompleks dan harus dipikirkan dan dilakukan. Pikirkan apa yang harus kita pikirkan dan lakukan yang harus kita lakukan dalam hubungan dengan filsafat pendidikan matematika, yang kita pikirkan dan kita lakukan sekarang adalah perubahan. Kita adalah para filsuf yang bertanggung jawab untuk memikirkan dan melakukannya perubahan tanpa melupakan peranan para filsuf matematika terdahulu sebagai landasan berpijak kita. Upaya yang kita lakukan adalah merubah pandangan kita tentang filsafat pendidikan matematika, karena dalam filsafat pendidikan matematika, kita akan mengetahui hakekat semua unsur pendidikan matematika. Dengan mengetahui hakekat tersebut akan memberi pedoman bagaimana kita melakukan pendidikan matematika dan pada akhirnya pendidikan matematika berujung pada nilai yang harus dicapai dari pendidikan matematika tersebut.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana tinjauan filsafat pendidikan matematika dari segi Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi?
2.      Bagaimana cara pandang beberapa aliran filasat terhadap matematika?
3.      Bagaimana tinjauan filsafat dalam memahami kesulitan siswa belajar matematika?

C.      Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini sebagai berikut.
1.      Untuk menjelaskan filsafat pendidikan matematika dari segi Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.
2.      Untuk menjelaskan beberapa aliran filsasat memandang matematika.
3.      Untuk mendeskripsikan kesulitan siswa belajar matematika secara fisafat.


4.       
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Filsafat Pendidikan Matematika
Filsafat pendidikan matematika termasuk filsafat yang membahas proses pendidikan dalam bidang studi matematika. Pendidikan matematika adalah bidang studi yang mempelajari aspek-aspek sifat dasar dan sejarah matematika, psikologi belajar dan mengajar matematika, kurikulum matematika sekolah, baik pengembangan maupun penerapannya di kelas.
1.        Ontologis Filsafat Pendidikan Matematika
Menurut Marsigit (2010) Pendidikan itu dapat diibaratkan sebagai gerbong kereta api. Demikian juga pendidikan matematika. Filsafat itu dapat diibaratkan sebagai helikopter pengawal gerbong kereta api. Para pendidik, atau guru atau praktisi kependidikan jika tidak pernah mempelajari filsafat pendidikan atau filsafat pendidikan matematika, mereka itu ibarat penumpang kereta api tersebut. Maka bagaimana mungkin penumpang kereta api bisa mengetahui semua aspek sudut-sudut gerbong kereta api dalam perjalanannya. Maka filsafat pendidikan matematika itu ibarat seorang penumpang kereta api itu keluar dari gerbong kereta api, kemudian keluar naik helicopter untuk mengikuti dan memonitor laju perjalanan kereta api itu. Maka orang yang telah mempelajari filsafat pendidikan matematika atau jauh lebih kritis dan lebih dapat melihat dan mampu mengetahui segala aspek pendidikan matematika.
Selanjutnya Marsigit (2010) mengatakan bahwa filsafat pendidikan matematika adalah refleksi terhadap pendidikan matematika, meliputi refleksi terhadap semua yang ada dan yang mungkin ada dalam pendidikan matematika. Padahal pendidikan matematika itu meliputi guru, matematika, murid, ruang, kegiatan, alat dan sebagainya. Padahal guru itu mempunyai sifat yang banyak sekali. Jadi ada banyak hal yang perlu direfleksikan. Maka filsafat pendidikan matematika, memperbincangkan semua obyek-obyeknya. Maksud memperbincangkan adalah menjelaskan semua dari apa yang dimaksud dengan semua yang ada dan yang mungkin ada dalam pendidikan matematika. Selanjutnya, berkaitan dengan filsafat pendidikan, seorang guru matematika harus memahami filsafat pendidikan apa yang dianutnya dengan menggunakan pertanyaan berikut mengapa kita perlu mengajar/belajar matematika?" Siswa biasanya mengajukan pertanyaan ini ketika akan belajar tentang matematika. Ada banyak jawaban yang kita berikan diantaranya: matematika berguna, matematika itu indah, dan matematika adalah masalah dalam kehidupan siswa. Jawaban yang terakhir akan membantu siswa untuk berpikir kritis, dan memecahkan masalah matematis.
Secara ontologis filsafat pendidikan matematika berbicara tentang hakekat obyek-obyeknya yang sebelumnya sudah dibahas di atas. Obyek-obyek filsafat pendidikan matematika tersebut adalah.
a.      Hakikat Siswa dalam Pendidikan Matematika
Dalam pandangan lama siswa adalah anak yang duduk di belakang meja yang mendengarkan semua ucapan gurunya. Namun pandangan tentang siswa tersebut sekarang sudah berubah seiring perubahan paradigma pendidikan. Siswa adalah pembelajar aktif yang membangun pemahaman mereka sendiri dari konsep-konsep daripada sebagai konsep kertas putih yang masih kosong yang siap ditulis pengetahuan dari guru (tabula rasa). Siswa juga individu yang lagi senang bermain. Siswa juga mempunyai pengalaman dan mampu berpikir. Berhubungan dengan matematika maka siswa dalam pendidikan matematika adalah individu yang mampu membangun konsepnya sendiri melalui pengalaman dan pikiran namun masih senang bermain.
b.      Hakikat Guru dalam Pendidikan Matematika
Siapakah guru matematika? Sebelum menjawab pertanyaan tentang guru matematika terlebih dahulu kita tahu dulu siapakah guru itu. Menurut PP nomor 19 Tahun 2017 tentang guru, disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Namun hakekat guru tersebut belum sepenuhnya dimengerti dan dipahami oleh guru khususnya para guru matematika. Berdasarkan fakta di lapangan para guru matematika masih salah menerjemahkan PP tersebut. Guru masih berpikir bahwa tugasnya ada Pandangan siswa tentang seorang guru matematika adalah seorang yang kejam, bengis selalu memberi hukuman, yang pintar menghafal semua konsep matematika. Guru matematika sebagai seorang penceramah atau pemberi materi yang semua ucapannya selalu benar karena itu harus didengar dan tidak dibantah. Guru matematika selama ini berperan sebagai seorang penceramah abstrak karena materi yang diberikan susah untuk dimengerti karena terasa asing dan jauh dari lingkungan siswa. Perubahan paradigma pendidikan menuntut guru matematika untuk merubah cara pandang terhadap dirinya dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan filsafat konstruktivis seorang guru matematika adalah orang yang membantu atau memfasilitasi siswa untuk membangun pengetahuan.
c.       Hakikat Pembelajaran Matematika
Menurut filsafat konstrukstivis pembelajaran matematika adalah kegiatan membelajar siswa. Sesuai dengan hakekat siswa maka belajar adalah proses untuk membangun pengetahuan sendiri. Jadi pembelajaran adalah suatu kegiatan dimana siswa difasilitasi oleh guru untuk membangun pengetahuan sendri. Jadi pembelajaran matematika bukan merupakan kegiatan pemberian informasi atau konsep saja tetapi merupakan kegiatan yang menempatkan siswa sebagai subyek yang aktif. Pengetahuan tersebut harus ditemukan sendiri oleh siswa. Jadi pembelajaran matematika diharapkan mempertimbangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
d.      Hakikat Penilaian
Karena pembelajaran menekankan pada kegiatan penyampaian informasi maka penilaian yang dilakukan tidak mencakup semua aspek pendidikan. Guru lebih menekankan penilaian secara kognitif itupun hanya mengukur hasil akhirnya saja. Dalam filsafat konstruktivis tujuan pendidikan adalah membangun pengetahuan sendiri. Oleh karena itu penilaian bukan hanya penilaian akhir yaitu penilaian terhadap penguasaan semua materi matematika tetapi juga meliputi penilaian proses dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
e.       Hakikat Matematika Sekolah
Matematika sekolah adalah bagian atau unsur dari matematika yang dipilih, antara lain dengan pertimbangan atau berorientasi pada pendidikan. Oleh karena itu, pembelajaran matematika harus disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa. Matematika dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah adalah matematika sekolah. Matematika yang diajarkan di senang persekolahan seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas disebut matematika sekolah. Matematika sekolah tersebut terdiri atas bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi serta berpadu pada perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Marselina, 2011).
Ebbut dan Straker (Marsigit, 2013) menguraikan hakikat matematika sekolah, matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan; kreatifitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan; kegiatan problem solving; alat komunikasi. Matematika adalah kreatifitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan. Matematika adalah alat komunikasi dalam kegiatan problem solving
2.        Epistemologis Filsafat Pendidikan Matematika
Praktik pendidikan yang selama ini berlangsung di sekolah ternyata sangat jauh dari hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pendidikan yang menjadikan siswa sebagai manusia yang memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya dan mengembangkan pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan dirinya sendiri. Menurut Zamroni (Marselina, 2011) praktik pendidikan yang demikian mengisolir diri dari lingkungan sekitar dan dunia kerja, serta tidak mampu menjadikan siswa sebagai manusia yang utuh dan berkepribadian.
Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Menurut Zamroni (Marselina, 2011)  melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Filsafat yang sangat berpengaruh terhadap pembelajaran matematika adalah filsafat kontruktivism. Menurut filsafat konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Menurut filsafat konstruktivis berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomena baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan lain.


a.      Tinjauan epistemologis tentang siswa dalam pendidikan matematika
Tinjauan epistemologis dapat dikaji melalui pertanyaan: "Bagaimana siswa belajar matematika?" Dalam paradigma lama cara siswa belajar matematika adalah dengan menghafal semua materi. Cara pandang terhadap pendidikan matematika telah berubah karena itu kita sebagai guru matematika wajib mengubah cara belajar siswa. Siswa perlu belajar mandiri dan aktif untuk membangun dan menemukan konsep matematika. Mereka harus berpikir dan memahami apa yang mereka pelajari karena pada dasarnya matematika merupakan kegiatan berpikir dan apa yang dipikirkannya tentu berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh guru.
Belajar matematika bagi siswa bukanlah tugas yang sederhana yang hanya terdiri dari kegiatan menghafal dan praktek. Siswa adalah pembelajar aktif membangun pemahaman mereka sendiri dari konsep-konsep daripada hanya berupa "tabula rasa" untuk "menyalin" pengetahuan langsung dari guru. Siswa juga akan belajar dengan baik ketika mereka bekerja sama dan mengembangkan pemahaman melalui menggunakan pengalaman sebelumnya, wacana, dan penalaran. Dengan kata lain, ide ini adalah konstruktivisme sosial, lingkungan matematika yang berpusat pada siswa, kemandirian, dan aktif. Proses belajar ini diperlukan untuk membangun pengetahuan dan pemecahan masalah matematika.
b.      Tinjauan epistemologis tentang guru dalam pendidikan matematika
Pertanyaan berikutnya adalah "Bagaimana guru mengajar matematika?". Selain memiliki pengetahuan latar belakang matematika yang kuat, guru harus memiliki keterampilan pembelajaran yang baik untuk mengajar, mempromosikan, dan membantu siswa belajar efektif. Guru adalah pendamping atau fasilitator, bukan pentransfer pengetahuan. Mereka harus memotivasi siswa untuk secara aktif memeriksa dan memperluas pemikiran mereka, bentuk lingkungan percakapan di mana siswa berbagi dan membangun pengetahuan mereka sendiri, instruksi desain yang memungkinkan siswa untuk belajar dengan melakukan, menyelaraskan kurikulum sesuai dengan standar dan penilaian siswa, dan menerapkan teknologi untuk meningkatkan pengajaran dan bersandar. Singkatnya, guru yang membuat kelas yang memaksimalkan pembelajaran siswa.

c.       Tinjauan epistemologis tentang pembelajaran matematika
Pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran.
Paradigma pengajaran yang telah berlangsung sejak lama lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Paradigma tersebut bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya. Dengan mengingat kebhinekaan budaya, keragaman latar belakang dan karakteristik peserta didik sebagai masukan dalam sistem pembelajaran, dan di sisi lain ada tuntutan agar proses pembelajaran mampu menghasilkan lulusan yang bermutu, maka proses pembelajaran harus dipilih, dikembangkan, dan diterapkan secara fleksibel dan bervariasi yang memenuhi kriteria minimal. Secara konseptual proses pembelajaran yang bersifat fleksibel dan bervariasi perlu diterapkan pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan
Sampai saat ini pembelajaran matematika bagi siswa-siswa di tingkat dasar maupun tingkat menengah merupakan pelajaran yang dipandang sulit dan tidak disenangi oleh sebagian besar siswa. Inilah paradigma pembelajaran matematika yang selama ini terjadi pada kebanyakan sekolah. Pembelajaran matematika sekolah di tingkat dasar dan menengah merupakan pelajaran wajib bagi siswa selama berada di bangku sekolah. Bagi siswa yang minat dan mampu mempelajari konsep matematika merupakan anugerah dan mereka terasa nyaman mengikuti pembelajaran matematika. Tetapi bagi siswa yang tidak senang dengan matematika terasa musibah yang harus diikuti dengan terpaksa selama ia berada di sekolah tersebut.
Pertanyaan yang mengkaji epitemologis dari tentang pembelajaran matematika adalah bagaimana cara melaksanakan pembelajaran matematika? Pertanyaan ini berhubungan dengan pemilihan atau penggunaan metode pembelajaran matematika. Metode yang paling dominan digunakan oleh para guru termasuk guru matematika adalah metode ceramah atau tanya jawab. Metode ini menekankan pembelajaran matematika sebagai proses penyampaian materi matematika. Dalam metode ini guru menempatkan siswa sebagai individu yang pasif, tidak mampu berpikir, dan tidak ada perbedaan diantara mereka.
Dengan perubahan paradigma pendidikan maka berubah pula metode pembelajaran matematika yang digunakan oleh guru. Pemilihan metode pembelajaran matematika harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu: hakekat siswa, hakekat guru, hakekat pembelajaran, hakekat penilaian, hakekat matematika sekolah dan hakekat penilaian.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa tujuan pembelajaran matematika? Tujuan pembelajaran matematika menurut Paul Ernest tidak ada dalam ruang hampa. Tujuan tersebut merupakan milik orang, apakah individu atau kelompok social yang melaksanakan pembelajaran matematika. Tujuan pembelajaran matematika tersebut harus berkaitan dengan kelompok sosial dan masyarakat pada umumnya. Tujuannya adalah mengekspresikan nilai pendidikan dan nilai sosial masyarakat atau bagian dari yang terlibat dalam pembelajaran tersebut. Tujuan dan nilai-nilai pendidikan matematika terpusat pada perhatian terhadap kegiatan kelompok siswa.
d.      Tinjauan epistemologis tentang penilaian dalam pendidikan matematika.
Pertanyaan epistemologis menyangkut penilaian pendidikan matematika adalah: Bagaimanakah melakukan penilaian dalam pembelajaran matematika? Pertanyaan ini berhubungan dengan jenis penilaian yang kita gunakan. Jawabannya tergantung pada tujuan pendidikan matematika. Jika pendidikan bertujuan untuk penguasaan materi maka penilaian yang digunakan adalah penilaian akhir yang berupa tests untuk mengukur sejauh mana penguasaan materi oleh siswa.
Dalam pendidikan matematika sekarang ini penilaian yang dilakukan diharapkan mengukur semua aspek bukan pada penguasaan materi pembelajaran tetapi lebih khusus pada penguasaan kompetensi karena itu penilaian yang dilakukan juga memperhatikan kemampuan psikomotorik siswa.
e.       Tinjauan epistemologis tentang matematika sekolah
Pertanyaan epistemologisnya adalah bagaimana mengembangkan matematika sekolah? Penyajian matematika sekolah disesuaikan dengan karakteristik siswa. Pola pikir matematika sebagai ilmu adalah deduktif, sifat atau teorema yang ditemukan secara induktif , selanjutnya harus dibuktikan secara deduktif. Namun dalam matematika sekolah pola pikir induktif dapat digunakan dengan maksud menyesuaikan dengan tahap perkembangan intelektual siswa
Implikasi dari pandangan bahwa matematika merupakan kegiatan penelusuran pola dan hubungan adalah: memberikan kesempatan siswa untuk melakukan kegiatan penemuan dan penyelidikan pola-pola untuk menentukan hubungan; memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan percobaan dengan berbagai cara, mendorong siswa untuk menemukan adanya urutan, perbedaan, perbandingan dan pengelompokan; mendorong siswa menarik kesimpulan umum; dan membantu siswa memahami dan menemukan hubungan antara pengertian satu dengan yang lainnya.
Implikasi dari pandangan matematika adalah kreatifitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan terhadap pembelajaran matematika adalah: mendorong inisiatif dan memberi kesempatan berpikir berbeda; mendorong rasa ingin tahu, keinginan bertanya, kemampuan menyanggah dan kemampuan memperkirakan; menghargai penemuan yang di luar perkiraan sebagai hal yang bermanfaat; mendorong siswa menemukan struktur dan desain matematika; mendorong siswa menghargai penemuan siswa lainnya; mendorong siswa berpikir refleksif; dan tidak menyarankan penggunaan suatu metode tertentu. Implikasi dari matematika sebagai alat komunikasi dalam kegiatan problem solving, maka dalam pembelajaran matematika guru perlu menyediakan lingkungan belajar matematika yang merangsang timbulnya persoalan matematika, membantu siswa memecahkan persoalan matematika menggunakan caranya sendiri, membantu siswa mengetahui informasi yang diperlukan untuk memecahkan persoalan matematika, mendorong siswa untuk berfikir logis, konsisten, sistematis dan mengembangkan sistem dokumentasi/catatan, mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk memecahkan persoalan, membantu siswa mengetahui bagaimana dan kapan menggunakan berbagai alat peraga/media pendidikan matematika seperti jangka, kalkulator, dan sebagainya.
Implikasi dari pandangan bahwa matematika sebagai alat komunikasi dalam pembelajaran adalah: mendorong siswa membuat contoh sifat matematika; mendorong siswa menjelaskan sifat matematika; mendorong siswa memberikan alasan perlunya kegiatan matematika; mendorong siswa membicarakan persoalan matematika; mendorong siswa membaca dan menulis matematika; menghargai bahasa ibu siswa dalam membicarakan matematika
f.       Tinjauan epistemologis tentang kurikulum pendidikan matematika
Pertanyaan tentang kurikulum matematika yang berhubungan dengan epistemologis adalah: bagaimanakah mengembangkan kurikulum pendidikan matematika? Sebelum menjawab secara khusus dalam matematika, kita perlu membahas pengembangan kurikulum pendidikan secara umum terlebih dahulu. Jawaban dari pertanyaan ini adalah kita merujuk pada pemikiran Ella Yulaelawati (Marselina, 2011) yang menguraikan kaitan filsafat dengan pengembangan kurikulum.
Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan: bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?
Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional. Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan.
3.        Tinjauan Aksiologi Filsafat Pendidikan Matematika
Berbicara tentang aksilogis berarti berbicara tentang manfaat dan nilai yang diperoleh dari pendidikan matematika tersebut. Manfaat pendidikan matematika dirasakan oleh bagi siswa dan bagi guru yang mengacu pada tujuan pendidikan matematika. Nilai yang dapat diperoleh dari filsafat pendidikan matematika adalah bahwa kita sebagai guru matematika hendaknya merefleksi sejauh mana pembelajaran yang kita lakukan sesuai dengan hakekatnya masing-masing. Melalui filsafat pendidikan matematika, guru metematikapun memperoleh pedoman atau acuan untuk menyusun dan mengembangkan pendidikan matematika

B.       Aliran Filsafat Memandang Matematika
Perbedaan pandangan terhadap matematika muncul sejak zaman dahulu sampai sekarang. Perbedaan pandangan ini dipengaruhi oleh filsafat yang dianutnya. Sedikitnya ada tiga aliran besar dalam filsafat matematika, yaitu Platonisme, Formalisme, dan Intuisionisme. Para penganut Platonisme menganggap bilangan adalah abstrak, memerlukan eksistensi objek, dan bebas dari akal budi manusia. Menurut aliran Formalisme, matematika adalah tidak lebih dan tidak kurang dari bahasa matematika (mathematical language). Sedangkan menurut paham Intuisionisme, matematika adalah suatu kreasi dari akal budi manusia (Anglin, 1994: p. 218-219). Aliran keempat yang sering tidak disebut adalah Eklektisisme yakni faham yang memadukan ketiga filosofi di atas. Perbedaan sudut pandang terhadap matematika mengakibatkan perbedaan dalam mengembangkan dan mengajarkan  matematika. Seiring dengan perbedaan tersebut, berkembang pula berbagai teori belajar mengajar matematika.
Aliran-aliran filsafat tersebut berperan penting menghasilkan cara pandang manusia terhadap matematika. Hal yang disayangkan adalah lebih dari 2000 tahun matematika didominasi oleh paradigma absolut yang memandang bahwa matematika sebagai suatu ilmu pengetahuan yang sempurna dan kebenaran yang objektif, jauh dari urusan kehidupan manusia. Dalam paradigma tersebut, siswa dipandang sebagai objek yang pasif, karena yang diutamakan adalah pengetahuan matematikanya. Ilmu pengetahuan matematika disampaikan menggunakan sistem transmission of knowledge (bagaikan menuangkan air dari poci ke dalam gelas). Tujuan ideal pembelajaran matematika siswa mempunyai kemampuan-kemampuan untuk memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif, tidak didekati dengan paradigma yang benar untuk mencapai tujuan tersebut.
Secara umum terjadi perubahan trend strategi dalam pembelajaran matematika dari masa ke masa. Trend ini terjadi di seluruh dunia walaupun tidak dalam waktu yang bersamaan. Di masa lalu pada permulaan abad ke-20, otak dianggap tersusun atas fakulti-fakulti yang perlu dilatih sehinga pembelajaran matematika dianggap sebagai latihan mental. Akibatnya materi yang diberikan adalah yang sulit, semakin sulit semakin bagus. Pada saat ini paradigma tersebut bergeser menuju pada paradigma belajar yang mana pelaksanaan pembelajaran lebih mengedepankan pada kepentingan siswa. Terkait dengan hal ini, Canfied dan Hansen (Sugiman, 2009:3) mengutip ungkapan Meladee Mc Carty bahwa “Anak-anak di dalam kelas kita mutlak lebih penting daripada pelajaran yang kita ajarkan kepada mereka. “
Lange (Sugiman, 2009:4) memandang bahwa pembelajaran matematika yang baik adalah yang memperhatikan pada tiga dimensi tujuan, yakni dimensi menjadikan warga yang cerdas melalui literasi matematis, dimensi penyiapan ke dunia kerja dan ke sekolah lanjutan, dan dimensi matematika sebagai suatu disiplin.

C.      Filsafat Kesulitan Belajar Matematika
Secara filsafat, Kesulitan dapat dimaknai sebagai kendala seseorang dalam usahanya menembus Ruang dan Waktu. Dapat diartikan bahwa apabila siswa mengalami kesulitan belajar matematika artinya siswa memiliki kendala dalam menembus ruang dan waktu mereka sendiri. Hal tersebut merupakan ujian bagi guru, sehingga guru harus memahami konsep Humanist, konsep Perbedaan, konsep Ruang dan Waktu dalam filsafat untuk memahami dengan baik ujian itu. Dari sisi HUMANIST, bahwa siswa adalah insan yang terlahir lengkap dengan dianugerahinya potensi didalam setiap dirinya. Potensi inilah yang harus digali. Maka setiap siswa SEBENARNYA memiliki potensi cerdas hanya PERBEDAANnya adalah terletak pada penggaliannya. Ada yang cepat tergali, ada yang lambat, ada yang galiannya dalam, dangkal, ada yang galian setengah dalam, setengah dangkal dan lain sebagainya. Perbedaan inilah yang memunculkan penilaian kita akan adanya siswa yang cerdasnya minta ampun, yang kurangya minta ampun, yang cerdasnya cepat, yang cerdasnya lambat,dst. Guru juga harus memahami bahwa kapasitas belajar siswa itu BERBEDA dengan kapasitas orang dewasa maka tidaklah layak jika memaksakan RUANG dan WAKTU kepada mereka, dengan kata lain tidaklah pantas memaksa mereka untuk belajar layaknya orang dewasa yang belajar. Sehingga dapat di simpulkan bahwa dari pemahaman filsafat yang baik, guru akan terlahir menjadi guru yang tidak hanya memiliki sensitivitas dan kreativitas dalam mengajar tapi juga akan memiliki kesabaran terhadap ujian dalam proses mengajarnya.
Untuk itu, secara epistemologi seorang guru harus memiliki pembawaan tersendiri dalam memberikan sentuhan dalam proses pembelajaran. Dalam proses belajar mengajar guru diharapkan tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, namun memiliki kecerdasan emosional. Apabila seorang guru mempunyai kecerdasan emosional, yang mana berdampak kepada etika yang dimiliki guru matematika tersebut.
Hal ini sejalan dengan paham IDEALIS dari PLATO, yang mana berdasarkan pandangannya itu, Plato menyampaikan ajaran etika. Dalam ajaran etikanya, ia mengajarkan bahwa siapa pun manusia itu harus mampu mencapai pemahaman tentang dunia IDEA. Disebutkan bahwa IDEA tertinggi adalah IDEA kebaikan. Dengan pemahaman tentang idea kebaikan ini, maka kebahagiaan hidup dapat diharapkan. Orang dapat mencapai pemahaman idea kebaikan bila mampu menyelami dunia pengalaman. Inilah yang kemudian dikenal sebagai ajaran mengenal diri sendiri (to know himself). Oleh karena itu guru harus mengenal diri sendiri dan dapat menempatkan kondisi dalam diri sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi yang mana dibutuhkan.
Jangan sampai mengajarkan penggunaan matematika dalam ranahnya orang dewasa kepada siswa dan juga jangan sampai semena-mena dengan menerapkan matematika formal dan menggunakan matematika tanpa mengetahui konsepnya, karena hal tersebut akan  membebani siswa untuk berpikir sampai tahap demikian. Terapkan matematika sesuai dengan ruang dan waktu siswa itu tersendiri dan sesuai dengan kebutuhannya. Walaupun siswa memiliki ruang dan waktu terbatas, ternyata banyak sekali hal-hal yang dapat dilakukan oleh siswa dalam menggunakan matematikanya misal: menghitung, mengukur, mengira-ngira, belanja,..dst.
Kita perlu membedakan antara "kemampuan menerapkan matematika" dan "matematika terapan". Yang mana untuk "kemampuan menarapkan matematika" dapat dipandang dari sisi kemampuan berpikir secara umum, seperti yang dikemukakan oleh BLOOM, yaitu kemampuan berpikir sejak dari : Mengingat, Memahami, MENERAPKAN, Analisis, Sintesis, dan Evaluasi. Berarti setiap kegiatan berpikir terdapat aspek MENERAPKAN pemahamannya sebagai suatu kriteria tahapan berpikir. Demikian itulah yang terjadi jika siswa berpikir termasuk berpikir matematika. Sedangkan untuk "matematika terapan" atau menerapkan matematika dalam kepentingan matematika bermanfaat bagi ilmu-ilmu lain yang disebut sebagai domainnya orang dewasa.
Hal yang paling penting disini adalah bagaimana kita mempromosikan pembelajaran matematika berlandaskan kebutuhan siswa, sehingga perwujudan dari apa yang dikatakan oleh Lawrence E. Shapiro Ph.D  adalah Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka. Dalam konteks ini, guru diamanatkan mampu memahami perasaan siswa dengan memilih pilihan bahasa ungkap yang berkesuaian, membimbing siswa agar berkemampuan dalam pengendalian amarah, penciptaan pembelajaran yang berkemandirian, menyesuaikan diri dengan kondisi siswa, luwes sehingga disukai oleh siswanya, membimbing siswa dalam memecahkan berbagai persoalan antar pribadi dan belajarnya, menanamkan ketekunan, membudayakan rasa kesetiakawanan, menanamkan keramahan, sampai pada pengkondisian sikap hormat,  yang kesemuanya diformulasikan dalam bentuk pembelajaran yang kondusif dan kreatif, menarik dan empatif, menyenangkan dan menenangkan.
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat saya simpulkan bahwa pendidikan matematika harus memperhatikan filsafat pendidikan matematika karena pendidikan matematika tidak akan berhasil jika filsafat tidak berperan di dalamnya. Sudah saatnya kita sebagai guru matematika menguasai filsafat pendidikan matematika sehingga kita dapat merubah pandangan kita tentang pendidikan yang sekarang sudah berubah paradigmanya. Upaya yang saya lakukan adalah dengan mengubah pandangan saya tentang paradigm pendidikan lama dan menggantikannya dengan paradigm pendidikan baru dengan lebih menekankan aspek filsafat dalam pendidikan matematika sehingga pembelajaran matematika akan mencapai tujuan yang diinginkan.
Filsafat pendidikan matematika yang akan di bangun dalam pendidikan matematika adalah filsafat konstruktivism dengan membangun pengetahuan dengan dasar sintetik apriori, progresivism, socio-konstruktivism, kategorism, pluralism, realism, eksistensialism, dan pragmatis. Upaya yang dilakukan adalah memperhatikan pentingnya pemahaman terhadap konsep dengan memanfaatkan kemampuan siswa untuk membangun sendiri pengetahuan, bekerja sama dalam kelompok. Pembelajaran lebih menekankan kehadiran benda konkret, penggunaan pengalaman hidup siswa, menggunakan situasi konkret. Penggunaan metode pembelajaran yang banyak dan bervariasi untuk melayani semua perbedaan individu dan tercapainya kompetensi siswa. Pembelajaran dan penilaian lebih menekankan pada proses serta nilai atau manfaat praktis yang akan diperoleh siswa dalam pendidikan matematika.
Salah satu kesulitan yang paling sering dialami oleh siswa adalah proses pembelajaran matematika. Kesulitan tersebut harus diatasi agar mengurangi permasalahan pada pembelajaran matematika. Secara filsafat, kesulitan dapat dimaknai sebagai kendala seseorang dalam usahanya menembus Ruang dan Waktu. Dapat diartikan bahwa apabila siswa mengalami kesulitan belajar matematika artinya siswa memiliki kendala dalam menembus ruang dan waktu mereka sendiri. Hal tersebut merupakan ujian bagi guru, sehingga guru harus memahami konsep Humanist, konsep Perbedaan, konsep Ruang dan Waktu dalam filsafat untuk memahami dengan baik ujian itu. Dari sisi HUMANIST, bahwa siswa adalah insan yang terlahir lengkap dengan dianugerahinya potensi didalam setiap dirinya. Potensi inilah yang harus digali. Maka setiap siswa SEBENARNYA memiliki potensi cerdas hanya PERBEDAANnya adalah terletak pada penggaliannya. Ada yang cepat tergali, ada yang lambat, ada yang galiannya dalam, dangkal, ada yang galian setengah dalam, setengah dangkal dan lain sebagainya. Perbedaan inilah yang memunculkan penilaian kita akan adanya siswa yang cerdasnya minta ampun, yang kurangya minta ampun, yang cerdasnya cepat, yang cerdasnya lambat,dst. Guru juga harus memahami bahwa kapasitas belajar siswa itu BERBEDA dengan kapasitas orang dewasa maka tidaklah layak jika memaksakan RUANG dan WAKTU kepada mereka, dengan kata lain tidaklah pantas memaksa mereka untuk belajar layaknya orang dewasa yang belajar. Sehingga dapat di simpulkan bahwa dari pemahaman filsafat yang baik, guru akan terlahir menjadi guru yang tidak hanya memiliki sensitivitas dan kreativitas dalam mengajar tapi juga akan memiliki kesabaran terhadap ujian dalam proses mengajarnya.






DAFTAR PUSTAKA
Anglin, W.S. (1994). Mathematics: A Concise History and Pholosophy. New York: Springer Verlag.

Depdiknas. (2017). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Guru.

Marsigit. (2015). Filsafat Matematika Plato. http://blogpengetahuanhwrh.blogspot.com/2015/11/filsafa-matematika plato.html (Diakses 15 November 2019)

Marsigit. (2014). Hubungan antar Aliran Filsafat, Filsafat Ilmu dan Filsafat Matematika. https://powermathematics.blogspot.com/2014/11/hubungan-antar-aliran-filsafat-filsafat.html (Diakses 15 Desember 2019)

Marsigit. (2013). Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Matematika. https://powermathematics.blogspot.com/2012/10/artikel-populer-pendidikan-karakter.html (Dikases 3 Januari 2020)

Marsigit. (2010). The South Circle of School Philosophy. http://powermathematics.com (diakses 18 Desember 2019)

Marsigit. (2008). Makalah seminar: Gerakan Reformasi Untuk Menggali dan Mengembangkan Nilai-Nilai Matematika Untuk Menggapai Kembali Nilai-Nilai Luhur Bangsa Menuju Standar Internasional Pendidikan. Yogyakarta: UNY

Marselina, L. (2011). Upayaku Membangun Filsafat Pendidikan Matematika. http://marselinalorensia.blogspot.com/2011/01/upayaku-membangun-filsafat-pendidikan.html (diakses 18 Desember 2019)

Sugiman. (2009) Pandangan Matematika sebagai Aktivitas Insani beserta dampak Pembelajarannya. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. ISBN: 978-979-16353-3-2


Tidak ada komentar:

Posting Komentar